Jumat, 25 November 2011

Bahaya Mentalitas Miskin,Uang...Uang..dan Uang


1.   Tanda bahaya mentalitas miskin no 1: Uang, uang, uang.
Tanda bahwa Anda memiliki mentalitas miskin ini di kepala Anda adalah bila Anda tidak berhenti berpikir tentang uang, uang, uang, uang dan uang.
Mari saya tanya, "Apa yang Anda pikirkan tentang uang? Kapan Anda berpikir tentang uang? Apakah Anda sering cemas karena tidak punya cukup uang, atau bertanya-tanya berapa yang bisa Anda dapatkan? Pernahkah Anda berpikir tentang apa alasan Anda menginginkan uang, dan kemungkinan bahwa Anda bisa saja mendapatkan semua itu walau tanpa uang? Apakah Anda merasa harus selalu punya uang?"

Kapan Doa Dikabulkan?


Ketika Anda mengajukan permintaan kepada Tuhan, seringkali kita dibayangi pertanyaan kapan doa itu dikabulkan?
Ini wajar dan manusiawi, serta banyak sekali terjadi.
Jadi tujuan pelajaran ini adalah untuk menenangkan mereka yang selalu bertanya-tanya, "Kapan doa-ku dikabulkan?" tersebut.
Ketika Anda meminta kepada-Nya, meminta apapun, bisa jadi Anda memang akan diminta untuk menunggu.
Ini merupakan satu ketetapan Tuhan, bahwa DIA-lah yang memiliki hak sepenuhnya untuk memutuskan KAPAN-nya keinginan Anda tersebut terkabul.
Ini yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai konsep the DIVINE TIMING, atauKonsep Waktu Illahi (Istilah "Waktu Illahi" ini rekaan saya sendiri, karena tidak tahu istilah Bahasa Indonesia yang lebih tepat untuk konsep ini.
Jadi kalau di antara pembaca ada yang tahu, boleh memberikan masukannya.)

Rabu, 23 November 2011

Kenali anak anda

 Melatih anak untuk bersosialisasi dengan teman sebaya sedari dini akan membantu mereka saat sekolah nanti. Anak akan lebih siap untuk mulai sekolah. Yang paling penting, anak-anak itu nantinya akan tumbuh menjadi anak yang lebih bahagia dan percaya diri.

Indahnya berhias



Tanpa perlu bersolek, hiasan dunia memang indah, sejuk, serasi. Gunung-gunung menjulang megah. Padang rumput nan hijau menghampar. Air terjun bergemuruh riuh. Hutan lebat menyejukkan. Sungai-sungai pegunungan mengalir jernih seperti mutiara yang berhamburan. Tapi, semua hiasan itu tak mampu menghalahkan indahnya dia. Dialah isteri shalihah, penenang hati penyejuk mata.
Kalau membayangi ungkapan itu, Bu Titi jadi malu sendiri. Apalagi waktu berdandan. Suami Bu Titi seperti tak pernah mau beranjak jauh dari ibu tiga anak ini. Dipandanginya Bu Titi lekat-lekat. Tanpa menimbulkan suara, senyumnya kerap tersungging. Kalau sudah begitu, Bu Titi bukan saja malu. Tapi, juga grogi.
Entah kenapa itu dilakukan suami. Apa karena ingin menemani isterinya berdandan. Atau hanya karena senang menggoda. Semuanya susah ditebak. Kalau ditanya, lagi-lagi suami Bu Titi cuma senyum-senyum. “Ndak. Ndak pa pa, kok,” jawabnya singkat.
Sebenarnya, Bu Titi termasuk wanita yang jarang berdandan. Sejak remaja, Bu Titi kurang akrab dengan yang namanya kosmetik. Ia lebih senang tampil apa adanya. Tapi, tidak berarti menampilkan apa yang ada. Aurat tetap harus ditutup. Tanpa kosmetik, toh ia tetap tampil cantik.
Tahun berganti tahun, dan masa pun terus bergulir. Bu Titi tidak lagi yang dulu. Itu sangat ia sadari. Kulitnya yang dulu halus, kini mulai agak berkerut. Cahaya wajahnya pun mulai agak pudar. Tidak seperti ketika masih gadis. Keringat tubuhnya sering mengucur tidak teratur. Kalau sudah begitu, aroma tubuhnya sudah mulai bervariasi. Kadang tidak berbau, tidak jarang juga sebaliknya.
Namun demikian, berdandan tetap memberatkan Bu Titi. Kecuali, kalau mau berpergian. Itu pun karena nasihat seorang teman. “Bu, muslimah itu mesti tampil baik. Akhlaknya baik, busananya baik. Dan, yang lain-lainnya juga mesti baik,” ucap teman pengajian Bu Titi suatu hari. Tafsiran Bu Titi memang cukup tajam. Yang dimaksud lain-lainnya memang rupa-rupa. Wajahnya minimal tidak berminyak. Atau tidak kering kerontang seperti tanah di Gunung Kidul. Dan yang juga tak kalah penting, aroma tubuh. Kan tak enak, kalau tiba-tiba teman menjauh saat kita akan mendekat.
Bu Titi tetap termenung di meja rias. Pandangannya menyapu alat-alat kosmetik di hadapannya. Ada bedak, kapas, cairan pelembab, deodoran, lipstik, dan lain-lain. Cuma lipstik yang nyaris tak pernah tersentuh. Bu Titi masih alergi dengan alat kosmetik yang satu itu. Itu pun hadiah suami.
Suami. Lagi-lagi, Bu Titi terbayang bagaimana tingkah suaminya saat ia berdandan. Suaminya berdiri di belakang Bu Titi. Lama ia berdiri. Tak beranjak selama Bu Titi berhias. Tatapannya tertuju ke bayangan cermin. Sebentar-sebentar, ia tersenyum. Dan yang bikin grogi Bu Titi, ucapan suaminya yang ringan tapi menghanyutkan. “Kalau berdandan, ibu jadi makin cantik,” ucapnya berseling dengan senyum.
Ada juga ucapan suaminya yang tak kalah merisaukan. Dan ucapan itulah yang kini jadi pikiran Bu Titi. Pernah suaminya berujar ringan, “Pasti ibu mau pergi.” Setelah itu, lagi-lagi sang suami tersenyum. “Hati-hati, ya Bu. Kendaraan umum sekarang sering ngebut,” tambah suami dengan penuh perhatian.
Mau pergi? Apa maksud ucapan suami Bu Titi. Ibu yang mulai sibuk aktif di masyarakat itu jadi bingung sendiri. Ia berusaha menebak-nebak. Apa itu kritik agar dirinya tidak terlalu sering keluar. Atau, sekedar ungkapan perhatian. “Ah, ucapan itu memang sangat bersayap,” sergah Bu Titi dalam hati.
Kalau dihubung-hubungkan dengan kesibukannya akhir-akhir ini, sepertinya nggak juga. Suaminya sangat mendukung, kok. “Aktif di masyarakat itu sangat bagus. Silakan ibu berkiprah. Tapi, kontrol keluarga tak boleh diremehkan,” nasihat suaminya suatu hari.
Jadi, apa ya? Kalau cuma sekadar ungkapan perhatian, tidak juga. Masalahnya, suaminya tergolong “makhluk halus”. Apa-apa serba isyarat. Hampir tidak pernah Bu Titi mendengar ucapan kasar keluar dari mulut suaminya. Kalau mau dibuatkan kopi, suaminya tidak secara langsung minta kopi. Biasanya dengan bahasa bersayap. “Bu, kayaknya di hari kayak gini, enak kali ya minum kopi.” Atau kalau mau makan sehabis pulang kantor, “Bu, apa siang tadi sempat masak makanan?” Atau, kalau si suami ingin berakrab-akrab dengan Bu Titi di waktu malam, “Bu, sudah shalat Isya belum?” Semua kalimat bersayap itu, sudah sangat dipahami Bu Titi.
“Apa mungkin itu?” ucap Bu Titi spontan. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. Sekali lagi, pandangannya menyapu alat-alat hias yang tersusun rapi di meja rias. Suamiku…? Benarkah itu? Bu Titi menarik nafas dalam. Ia seperti menangkap makna sesuatu. Sesaat kemudian, ia pun berisghfar. “Astaghfirullah!”
Bu Titi tersadar, kalau selama ini ia bersikap kurang pas. Itu mungkin, kenapa selama ini suaminya senyum-senyum kalau ia sedang berdandan. Masalahnya, ia baru tersadar kalau ia berdandan hanya saat hendak berpergian. Selebihnya, ia adalah Bu Titi yang asli. Tanpa busana rapi, tanpa pengharum badan, tanpa pelembab, tanpa bedak. Bahkan, tak jarang ia lupa bersisir.
Aih…aih, teganya dikau, Titi. Buat orang lain repot berdandan, kepada suami tampil biasa tanpa beban. Suara itu tiba-tiba mengusik nurani kewanitaannya. Kalau orang lain ingin melihat kita tampil cerah dan bergairah, begitu juga sang suami tercinta. Kalau orang lain tidak mau diganggu bau, terlebih lagi suami yang tak mau menjauh. Bunga-bunga kemesraan rumah tangga kenapa harus terusik dengan duri-duri kecil tangkai pesona. Bukankah hiasan rasa terlahir dari kesan pandangan mata.
Dengan begitu, teka-teki senyum-senyum suami Bu Titi terjawab sudah. Semua itu merupakan ungkapan cemburu yang dibungkus secara rapi dengan sindiran. Kalau saja itu diucapkan sang suami apa adanya, bisa jadi, Bu Titi akan salah paham. “Ah, Bapak ini. Kok nggak suka sih kalau isterinya tampil meyakinkan di depan masyarakat. Kan buat citra misi kita juga, Pak,” begitulah kira-kira sanggahan yang akan terucapkan Bu Titi ke suami.
Selain itu, seorang suami yang baik teramat risih mengungkapkan kecemburuannya secara terang-terangan. Ia khawatir, isterinya akan tersinggung. Kecewa, dan akhirnya marah. Ia juga tidak mau menempatkan dirinya di atas segala perhatian isterinya. Ia takut jadi egois.
Bu terduduk lemas di depan meja rias. Ia merasa bersalah bercampur malu. Malu dengan suami. Dan terlebih lagi, malu pada Allah dan Rasul-Nya. Masih terngiang dalam benaknya ketika seorang ustadz membacakan sebuah hadits. “Dunia itu perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan, adalah wanita shalihah.”
Dunia memang tak perlu bersolek untuk menampilkan keindahannya. Tapi, semua yang di dunia ini tak ada yang langgeng. Kalau tak dirawat, keindahannya akan pudar. Begitu pun dengan isteri shalihah. Kalau hati dan penampilannya tak lagi terawat, keindahannya akan buyar. Merawat hati dengan dzikir. Dan merawat penampilan, dengan berhias. Khususnya, buat suami tercinta. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Warisan Tanah Tandus



Ada empat anak yang baru saja mengalami duka setelah kematian kedua orang tuanya. Sebuah surat wasiat pun mereka terima dari orang yang mereka cintai itu. Setelah urusan jenazah kedua orang tuanya selesai, empat anak itu pun membuka surat berharga itu.
Ternyata, surat itu menyebutkan bahwa keempat anak itu diberikan pilihan untuk memiliki empat bidang tanah yang berlainan tempat. Ada bidang tanah yang begitu hijau dengan begitu banyak pepohonan kayu yang bisa dijual. Ada bidang tanah yang berada di tepian sungai jernih, sangat cocok untuk ternak berbagai jenis ikan. Ada juga bidang tanah yang sudah menghampar sawah padi dan ladang. Ada satu bidang tanah lagi yang sangat tidak menarik: tanah tandus dengan tumpukan pasir-pasir kering di atasnya.
Menariknya, surat itu diakhiri dengan sebuah kalimat: beruntunglah yang memilih tanah tandus.
Anak pertama memilih tanah pepohonan hijau. Anak kedua pun langsung memilih tanah dengan aliran sungai jernih. Begitu pun dengan yang ketiga, ia merasa berhak untuk memilih tanah yang ketiga dengan hamparan sawah dan ladangnya. Dan tinggallah anak yang keempat dengan tanah tandusnya.
“Apa engkau kecewa, adikku, dengan tanah tandus yang menjadi hakmu?” ucap para kakak kepada si bungsu.
Di luar dugaan, si bungsu hanya senyum. Ia pun berujar, “Aku yakin, pesan ayah dan ibu tentang tanah tandus itu benar adanya. Yah, justru, aku sangat senang!”
Mulailah masing-masing anak menekuni warisan peninggalan kedua orang tuanya dengan begitu bersemangat. Termasuk si bungsu yang masih bingung mengolah tanah tandus pilihannya.
Hari berganti hari, waktu terus berputar, dan hinggalah hitungan tahun. Tiga anak penerima warisan begitu bahagia dengan tanah subur yang mereka dapatkan. Tinggallah si bungsu yang masih sibuk mencari-cari, menggali dan terus menggali, kelebihan dari tanah tandus yang ia dapatkan. Tapi, ia belum juga berhasil.
Hampir saja ia putus asa. Ia masih bingung dengan manfaat tanah tandus yang begitu luas itu. Sementara, kakak-kakak mereka sudah bernikmat-nikmat dengan tanah-tanah tersebut. “Aku yakin, ayah dan ibu menulis pesan yang benar. Tapi di mana keberuntungannya?” bisik hati si bungsu dalam kerja kerasnya.
Suatu kali, ketika ia terlelah dalam penggalian panjang tanah tandus itu, hujan pun mengguyur. Karena tak ada pohon untuk berteduh, si bungsu hanya berlindung di balik gundukan tanah galian yang banyak mengandung bebatuan kecil. Tiba-tiba, matanya dikejutkan dengan kilauan batu-batu kecil di gundukan tanah yang tergerus guyuran air hujan.
“Ah, emas! Ya, ini emas!” teriak si bungsu setelah meneliti bebatuan kecil yang sebelumnya tertutup tanah keras itu. Dan entah berapa banyak emas lagi yang bersembunyi di balik tanah tandus yang terkesan tidak menarik itu.
**
Keterbatasan daya nilai manusia kadang membimbingnya pada kesimpulan yang salah. Sesuatu yang dianggap bernilai, ternyata hanya biasa saja. Dan sesuatu yang sangat tidak menarik untuk diperhatikan, apalagi dianggap bernilai, ternyata punya nilai yang tidak terkira.
Hiasan-hiasan duniawi pun kian mengokohkan keterbatasan daya nilai manusia itu. Tidak banyak yang mampu memahami bahwa ada satu hal di dunia ini yang jauh dan sangat jauh lebih bernilai dari dunia dan isinya. Itulah hidayah Allah yang tidak tertandingi dengan nilai benda apa pun di dunia ini.
Sayangnya, tidak semua orang seperti si bungsu, yang begitu yakin dengan kebenaran bimbingan kalimat dari si pewaris yang sebenarnya. Walaupun harus menggali, dan terus menggali dengan penuh kesabaran. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Senin, 21 November 2011

Berani



Sebegitu hormatnya, sebagian besar hewan bersepakat untuk mendudukkan si zebra besar itu menjadi pemimpin mereka. Hampir hewan apa saja, mulai dari burung, rusa, gajah, kuda, bahkan srigala sekalipun.
Hewan-hewan itu berharap banyak pada si zebra besar. Terutama, agar si zebra besar bisa berani memimpin mereka melawan singa gondrong yang selalu semena-mena. Hampir semua hewan-hewan itu pernah merasakan keganasan dan kerakusan si singa gondrong.
Pertanyaannya, apa si zebra besar berani melawan si singa gondrong? Inilah yang belum teruji. Para hewan hanya melihat dari tampilan luar si zebra, dan mereka pun berkesimpulan sendiri bahwa si zebra berani melawan si singa.
Ternyata, penilaian mereka salah. Si zebra bukan hanya takut, bahkan terang-terangan menyatakan kalau ia tidak akan pernah mengajak hewan-hewan melakukan perlawanan terhadap si singa.
“Saudara-saudaraku, berpikirlah kedepan. Singa gondrong memang rakus, tapi ia masih mempunyai sifat baik. Jangan lakukan perlawanan, marilah kita kerjasama dengan dia!” ucap si zebra besar dalam pidato politiknya.
Mulai saat itu, para hewan mulai tidak suka dengan si zebra besar. Tapi, mereka masih berharap kalau si zebra besar akan berubah sikap. Karena saat ini, mereka menilai belum ada pemimpin yang sebaik si zebra besar.
Mulailah hari-hari kebimbangan merasuki warga hewan di belantara yang subur dengan begitu banyak makanan itu. Sementara, sosok singa gondrong kian rakus dan jahat. Tidak heran jika warga hutan mulai tidak lagi mengakui kepemimpinan si zebra besar.
Suatu kali, si zebra besar meminta warga hewan untuk berkumpul. Ada beberapa pernyataan penting yang ingin ia sampaikan. Ada isu kalau si zebra akan mengundurkan diri.
“Saudara-saudaraku, banyak desas-desus yang menyatakan kalau aku takut dengan singa gondrong. Itu salah! Aku tidak pernah takut dengan dia. Saya meminta agar kita tetap berkerja dan berkerja. Suatu saat, kita akan melawan kezaliman itu!” tegas si zebra yang disambut tepuk tangan dari warga yang hadir.
Usai menyampaikan pidato, si zebra besar dihampiri salah satu hewan kepercayaannya, kancil. Si kancil pun mengungkapkan keheranannya. “Waduh, hebat sekali pidatonya, Pak. Tapi, apa bapak memang benar-benar berani melawan si singa gondrong?” ucap si kancil dengan ramah dan penuh hormat.
Si zebra besar pun agak kikuk menjawab. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada hewan di sekitar situ. Dan ucapnya, “Hm, anu Cil. Sebetulnya aku berani mengatakan seperti itu karena diminta oleh si singa gondrong….”
Salah satu sifat buruk pemimpin suatu kaum adalah penakut. Sifat inilah yang menjadikan orang-orang yang dipimpinnya terkungkung dalam ‘kepasrahan’ dari keganasan para penjahat yang terus-menerus menguras kekayaan kaum itu.
Karena itu, berhati-hatilah dengan sifat berani yang tiba-tiba muncul dari pemimpin penakut itu. Boleh jadi, keberaniannya hanya tipuan. Ia tiba-tiba seperti berani lantaran didorong rasa takutnya yang paling besar: jatuh dari kekuasaan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...