Subhanallah, sebuah perjalanan memang diperlukan oleh setiap insan
untuk memperkaya hatinya. Memberi ruang bagi jiwanya akan sebuah
pengalaman baru yang berbeda, yang dapat langsung ia lihat, dengar dan
rasakan. Pengalaman inilah yang akan menggerakkan hatinya untuk
melakukan sebuah perubahan, baik itu perubahan pribadi maupun perubahan
sosial.
Tentu saja setiap bekas/atsar sebuah perjalanan
ditentukan oleh jenis perjalanan itu sendiri. Sejauh mana jiwa dan hati
orang yang melakukan perjalanan itu, mampu menangkap pesan-pesan yang
sebenarnya tersebar dan bahkan terserak begitu banyak di sekitarnya.
Hati
yang bersih dan hidup, itulah yang akan mampu menerima serta mengirim
resonansi pesan-pesan positif dari alam di sekitarnya. Bagaimanapun,
alam terbentang luas menjadi guru bagi siapapun yang mau belajar
darinya.
Sedikit cerita dari sepotong perjalanan, yang semoga dapat menjadi pelembut hati...
Cerita
ini terjadi ketika dalam perjalanan pulang ke kotaku tercinta, Jogja.
Di sela padatnya agenda berlibur bersama suami dan anak-anak, aku
sempatkan untuk bertandang ke rumah seorang penjual bakso. Orang
tersebut kukenal secara tak sengaja, hampir tiga tahun yang lalu.
Istri
penjual bakso ini merupakan seorang penderita kanker payudara. Dia
membutuhkan dana besar untuk mengoperasi istri tercintanya. Bahkan, dia
pun harus merelakan satu persatu apa yang mereka miliki untuk biaya
pengobatan sang istri.
Penjual bakso itu sungguh orang kampung
yang sangat sederhana, namun tekun dan sangat mencintai istri serta
anak-anaknya. Dia harus pontang-panting mengurus sakit sang istri,
hingga kerap meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang bakso. Itulah
perkenalan singkatku dengan penjual bakso itu tiga tahun yang lalu.
Adapun
tujuanku ke rumah penjual bakso itu adalah untuk bersilaturrahim
sekaligus menengok istrinya. Salah satunya juga untuk mengetahui apakah
segala tindakan dari dokter, berupa kemoterapi dan farmakoterapi, itu
membuahkan hasil. Aku kehilangan kontak dengan Bapak itu (si penjual
bakso) dan juga istrinya, karena hpku hilang.
MasyaAllah, semua
memang sudah dituliskan-Nya, kita tidak tahu apa yang Ia rencanakan
untuk kita. Saat kuberjalan ke gang sempit menuju rumahnya, pikiranku
sudah bertanya-tanya, "Apa gerangan yang terjadi dengan istri si penjual
bakso, mengapa rumahnya di kejauhan nampak lengang?"
Ternyata
firasatku terjawab, istri si penjual bakso itu masuk rumah sakit lagi
dan besok akan kembali menjalani operasi. Disebabkan dana yang tidak
mencukupi, kemoterapinya pun tertunda-tunda, sementara kanker kembali
menyebar di tubuh sang istri.
Kali ini, Bapak penjual bakso itu
tak terlalu merisaukan masalah dana, karena rasa solidaritas para Ibu di
RT-nya telah sedikit menolongnya. Yang dilakukan oleh para Ibu tersebut
seperti mencari sokongan dana Jamkesda ke Dinas Sosial setempat. Walau
memerlukan waktu yang sangat lama dan belum tahu dapat berapa, yang
penting si istri penjual bakso itu bisa maju ke meja operasi
lagi. Selebihnya, harus ditanggung secara pribadi.
Yang membuat
risau penjual bakso itu yakni masalah darah. Akhirnya, aku hubungkan
dengan teman yang ada di Masjid Mardhiyah, dekat RS Sardjito, untuk
dibantu mendapatkan darah segera dari para Jamaah Kajian Rutin Pagi di
masjid itu. Kusampaikan pada salah seorang takmir masjid tersebut, bahwa
ada seorang Ibu, dhuafa yang sangat memerlukan darah untuk operasi
kanker. Alhamdulillah darah didapat. Ibu itu pun dapat masuk ke meja
operasi keesokan harinya.
Permasalahan tidak berhenti sampai di
situ saja teman, terpikirkah bagaimana dengan sekolah anak-anaknya
karena bapaknya seringkali tidak berjualan bakso? Bagaimana mereka harus
hidup? Terbersit untuk mengumpulkan dana membantu kehidupan mereka dan
bagi anaknya yang kesulitan biaya untuk sekolah.
Perjalanan kami
lanjutkan ke desa bapak itu berasal, di sebuah desa nun jauh di pesolok
Gunung Kidul sana. Di sana kami bertemu dengan seorang ibu renta, ibunda
dari penjual bakso itu, beserta sepasang suami istri dengan dua orang
anak, mereka adalah adik dari penjual bakso.
Mereka menghuni
sebuah rumah kecil, sangat sederhana, berlantai tanah, dengan isi rumah
ala kadarnya. Mereka menanyakan kabar saudara mereka di Jogja, istri
penjual bakso. Maklumlah, mereka tidak mempunyai alat komunikasi untuk
mengetahui kondisi saudaranya di kota Jogja sana.
Kulihat ibu tua
renta itu sangat sedih dan prihatin dengan kondisi istri penjual bakso.
Sambil menggeleng menceritakan betapa upaya mereka untuk kesembuhannya,
hingga habis semuanya.
Kulihat genangan air mata di sudut-sudut
mata tuanya. Kurengkuh badan tuanya. MasyaAllah, dalamnya kecintaan
seorang ibu mertua kepada menantu perempuannya.
Sungguh kubelajar
banyak dari perjalanan ini, teman. Sekalipun mereka "papa", tapi hati
mereka bersih, jernih, tulus dan apa adanya. Mereka orang-orang bijak
yang punya harga diri, mereka tidak ingin merepotkan orang lain dengan
meminta atau minjam.
Sungguh kalian telah menginspirasi
kami. Keluar dari zona aman, menangkap dan memahami pesan-pesan alam,
memperbanyak perjalanan. Sebuah nilai rasa yang kaya makna akan engkau
dapatkan.
Kawan, seandainya satu keluarga dapat mengentaskan
kemiskinan satu keluarga lain di Indonesia. Mengantarkan anak-anak
mereka menyelesaikan sekolah dan mengarahkannya ke SMK, agar
anak-anaknya ke depan dapat mengentas kemiskinan dan kondisi orang
tuanya.
Akankah wajah bangsa ini menjadi lebih cerah? Kalian tak
perlu menjawabnya kawan. Yang perlu kalian lakukan adalah.. segeralah
lakukan, apa yang terdenting di hatimu.
Ribuan orang dengan nasib
seperti mereka, bahkan lebih merana menanti uluran tangan kita. Mari
kita bersama. InsyaAllah keberkahan harta menjadi milik Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar